PELANJUT RISALAH RASULULLAH: TIGA CIRI PENDAKWAH YANG MENGGERAKKAN PERADABAN
Dr. Adam, M.Pd., M.Si.
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ كُلَّ مُؤْمِنٍ دَاعِيَةً، وَكُلَّ دَاعِيَةٍ مَسْؤُولًا عَنْ رِسَالَتِهِ فِي الْحَيَاةِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
قاَلَ اللهُ تَعَالى: يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah.
Mengawali khutbah ini, saya mengajak kepada jamaah marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas iman dan takwa. Kita yakin, dengan iman dan takwa akan membawa keberkahan hidup di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.
Kita sama-sama mengetahui bahwa perkembangan ilmu dan teknologi telah banyak mengubah kehidupan umat manusia. Di samping ada nilai positifnya tetapi tidak jarang kemajuan yang dicapai saat ini bisa menjadikan manusia tergelincir dari kemuliaannya. Karena itu, sejak awal, Allah swt. menurunkan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. sebagai role model kehidupan, acuan nilai agar kita memiliki pedoman hidup sehingga perjalanan manusia tidak jauh dari nilai-nilai kemuliaan.
Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Islam adalah agama dakwah. Karena itu setiap kita adalah pendakwah. Menjadi pendakwah bukanlah hak eksklusif ulama, muballigh, atau ustadz. Setiap Muslim—apapun latar belakangnya—adalah pendakwah. Kapan pun seseorang mengaku beriman, maka saat itu pula ia memikul tanggung jawab untuk menyampaikan kebaikan. Dalam tutur katanya, dalam tindakannya, dalam cara ia menyikapi kehidupan—semua adalah bagian dari dakwah. Dakwah tidak harus dengan mimbar megah atau suara yang lantang. Terkadang, senyum tulus, bantuan kecil, atau nasihat lembut jauh lebih dalam pengaruhnya. Maka jangan pernah meremehkan kontribusi kecil, karena di sisi Allah, setiap usaha yang mengajak pada kebaikan dicatat sebagai amal yang besar.
Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Dakwah adalah Kelanjutan dari Syiar Risalah. Risalah Islam tidak berhenti ketika wahyu terakhir diturunkan. Justru setelah wafatnya Rasulullah saw, estafet risalah itu diteruskan oleh umatnya. Dakwah adalah bentuk pengabdian kita dalam menjaga amanah besar ini. Risalah yang dahulu disampaikan oleh Nabi, kini ada di tangan kita—umatnya. Menyampaikan kebenaran, memperjuangkan nilai-nilai luhur Islam, dan menjaga masyarakat agar tetap di jalan yang diridhai Allah adalah bagian dari tanggung jawab kolektif umat Islam. Jika umat ini diam, maka risalah itu akan redup. Tapi jika umat ini bergerak, maka cahaya Islam akan terus bersinar, menembus sekat zaman dan menyentuh hati-hati yang haus akan petunjuk.
Dakwah adalah Mengajak Manusia Hidup dalam Ridha Allah. Tujuan akhir dari dakwah bukanlah popularitas, bukan pula pengaruh sosial. Tujuan dakwah adalah agar manusia hidup dalam ridha Allah. Dakwah sejati adalah yang mampu membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini tidak hanya untuk dunia, tetapi untuk kehidupan abadi di akhirat. Setiap ajakan kepada kebaikan, setiap larangan terhadap kemungkaran, harus bertujuan mengantarkan manusia kepada hubungan yang lebih dekat dengan Penciptanya. Sebab ketika ridha Allah telah menjadi orientasi utama, maka kehidupan akan menemukan maknanya. Jiwa-jiwa akan tenang, masyarakat akan tenteram, dan dunia akan dipenuhi cahaya petunjuk. Itulah hakikat dari dakwah: “mengajak manusia bukan kepada pribadi kita, tetapi kepada jalan Allah yang lurus.”
Setiap Muslim adalah pendakwah—penyeru kepada kebaikan, penjaga nilai-nilai kebenaran, dan penggerak perubahan. Untuk menjadi pendakwah sejati, kita perlu memiliki tiga modal utama yang harus ditanamkan dalam jiwa:
1. Kegelisahan Sosial: Tanda Iman yang Hidup
Iman yang sejati tidak akan pernah membiarkan seorang Muslim berdiam diri melihat keburukan merajalela. Rasulullah saw. adalah teladan dalam hal ini. Sebelum beliau menerima wahyu, hatinya sudah gelisah melihat ketimpangan sosial:
– Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
– Ekonomi dikendalikan oleh segelintir elit, sementara kaum miskin makin terpinggirkan.
Kegelisahan ini bukan tanda kelemahan, melainkan buah dari iman yang hidup. Karena iman yang hidup akan menggerakkan jiwa untuk merenung, menyelami realitas, dan akhirnya melahirkan aksi perubahan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ (آل عمران: ١١٠)
Rasulullah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ (رواه مسلم)
2. Istiqamah dan Komitmen terhadap Idealisme
Transformasi masyarakat dari kondisi yang penuh kerusakan menuju perbaikan yang hakiki bukanlah jalan yang mudah. Ia adalah jalan panjang dan penuh tantangan, yang hanya dapat dilalui oleh mereka yang memiliki komitmen teguh dan semangat tak tergoyahkan. Dalam proses ini, seorang Muslim harus memelihara semangatnya, bahkan ketika dukungan eksternal tak kunjung datang. Iman yang kokoh dan kesadaran spiritual yang tinggi akan menjadi bahan bakar utama untuk tetap melangkah dalam kegelapan.
Ketika hati telah bersih dan keyakinan kepada Allah telah kuat, maka tidak ada godaan yang mampu menggoyahkan prinsip hidup seorang pendakwah. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika beliau menghadapi dilema besar bersama Abu Thalib. Ketika pamannya hampir putus asa, lalu meminta agar Nabi Muhammad saw. mengurangi dakwahnya, Nabi Muhammad saw. berkata kepda pamannya.
“Wahai pamanku, demi Allah! Seandainya mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan berhenti hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”
Meski tekanan begitu kuat, beliau tetap teguh karena yakin bahwa kebenaran yang ia bawa adalah titipan Ilahi. Allah swt. berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka tetaplah engkau pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Hūd: 112)
Kesetiaan terhadap nilai-nilai Islam bukan hanya dibutuhkan saat ramai dukungan, tapi justru diuji saat kita sendirian memperjuangkannya. Ketika Tuhan telah memerintahkan, tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Jawaban kita haruslah sebagaimana para sahabat Rasul: sami’na wa atha’na – kami dengar dan kami taat.
3. Tawakal dan Kemandirian sebagai Pejuang Sejati
Seorang pendakwah sejati adalah pribadi yang teguh dan mandiri. Ia tidak menjadikan makhluk sebagai tumpuan harapannya. Ia tidak menggantungkan perjuangannya pada pujian, popularitas, atau perlindungan manusia. Sebab ia sadar bahwa yang benar-benar menentukan hasil hanyalah Allah swt.
Nabi Muhammad saw. adalah teladan utama dalam hal ini. Dalam situasi sulit, beliau tetap melangkah karena keyakinannya bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba yang bersandar kepada-Nya. Begitu pula seharusnya setiap Muslim: berjalan dengan gagah meski sendiri, melangkah dengan pasti meski tertatih, karena ada kekuatan besar yang menopang langkahnya – yakni tawakal kepada Allah.
Allah swt. berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah menjadi penolongnya.” (QS. At-Talāq: 3)
Kemandirian bukan berarti menutup diri dari bantuan, tapi berarti tidak menjadikan bantuan manusia sebagai syarat untuk terus berjuang. Seorang pejuang sejati akan terus melangkah meski tak ada yang mengiringi, karena ia tahu bahwa ridha Allah lebih utama dari segalanya.
Semoga di sisa usia kita, Allah swt. senantiasa memerikan karunia dan kesempatan untuk terus menjadi pribadi yang baik, selalu dalam kebaikan, dan insya Allah kita akan mengakhiri kehidupan dalam keadaan baik, serta terus-menerus mengajak kepada kebaikan sampai berakhir dengan kebaikan, yaitu husnul khatimah. Amin ya rabbal alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ
الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيمُ